Pengantar
Kamang, dulu merupakan sebuah
Kelarasan yang mencakup Aua Parumahan, Surau Koto Samiak, Suayan, dan Sungai
Balantiak. Setelah zaman kemerdekaan, Kamang terbagi menjadi dua nagari yaitu
Kamang Hilir dan Kamang Mudiak. Aua Parumahan menjadi Kamang Hilir dan Surau
Koto Samiak menjadi Kamang Mudiak, sementara Suayan dan Sungai Balantiak masuk
ke wilayah Kabupaten 50 Kota, karena secara geografis letaknya memang
dipisahkan oleh bukit barisan dari wilayah Aua Parumahan dan Surau Koto Samiak
yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Agam. Kamang Hilir dan Kamang Mudiak
selanjutnya merupakan wilayah Kecamatan Tilatang Kamang, dan akhir-akhir ini
membentuk Kecamatan sendiri Kamang Magek (Nagari Kamang Hilir, Kamang Mudiak di
tambah Nagari Magek). Pada masa dahulu (masa kolonial) Bukittinggi yang lebih
dikenal dengan nama Fort De Kock menjadi pusat pemerintahan di Agam Tua
(Belanda; Oud Agam). Wilayah kekuasaan Residen yang berkantor di Fort De Kock
mencakup Bukittinggi sekarang dan daerah yang sekarang lebih dikenal dengan
nama Agam Timur. Beda dengan masa dahulu dimana birokrasinya di satukan pada
masa sekarang birokrasi antara Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipisah, sehingga
timbul sedikit jarak anatara Bukittinggi dan Agam (terutama Agam Timur).
Perang
Kamang 1908 adalah perang terbuka yang meledak pada 15 Juni 1908 dan merupakan
salah satu puncak dari kemelut suasana anti penjajahan rakyat Sumatera Barat
dalam menentang penjajahan Belanda. Di sini akan terlihat gambar nyata dari
bentuk semangat dan pengorbanan rakyat Kamang, baik kalangan adat, agama,
cerdik pandai, pemuda/pemudi, bahkan kaum ibu dalam menulangpunggungi
perlawanan mengusir Belanda, yang dari segi politis dapat dikatakan sebagai
bukti sumbangan yang pernah mereka tunjukkan kepada Bangsa Indonesia.
Kesadaran anti terhadap penjajahan Bung
Hatta-pun dipercaya berawal dari peristiwa ini, ketika sang proklamator
melihat “urang
rantai” yang digiring Belanda lewat di depan rumah beliau, dan
Inyiaknya berkata: “Tu urang Kamang nan malawan Bulando” (Memoir
Muhammad Hatta, 1979). Paman dari Bung Hatta pernah
menceritakan kejadian Perang Kamang kepada beliau sehingga di depan rumah
beliau di Bukittinggi sering terlihat penjagaan dan pemeriksaan terhadap
masyarakat yang masuk dan keluar kota Bukittinggi. Sjech Muh Djamil Djambek ulama terkenal dari
Bukittinggi pun selama bertahun-tahun datang secara rutin ke Kamang untuk membangkitkan
motivasi dan memberi bimbingan rohani bagi masyarakat yang menanggung beban
penderitaan dan trauma hebat akibat perang tersebut.
Latar Belakang
Pemberontakan Pajak yang meletus sepanjang
tahun 1908 di beberapa nagari di Sumatera Westkust (seperti; Nanggalo, Lubuak
Aluang, Parik Malintang, Kayu Tanam, Batusangka, Lintau, Kamang, Manggopoh dan
Ulakan) disebabkan oleh peraturan baru mengenai pajak (sebesar 2%) yang
diterapkan oleh Belanda terhadap rakyat Minangkabau. Penetapan pajak yang
mencakup seluruh hewan ternak yang akan disemblih oleh rakyat, hal ini dinilai
memberatkan karena peraturan ini tidak hanya mencakup hewan yang akan
dikonsumsi oleh masyarakat akan tetapi juga hewan-hewan untuk upacara keagamaan
(kurban).
Adapula penyebab lainnya ialah
pelanggaran Belanda terhadap perjanjian Plakat Panjang yang dikeluarkannya pada
masa Perang Paderi, dimana salah satu isinya ialah “Pemerintah tidak akan
mengadakan pungutan-pungutan berupa pajak, hanya kepada rakyat dianjurkan
menanam kopi”. Sejak keluarnya Plakat Panjang masyarakat tidak lagi dipungut
pajak, namun di awal tahun 1908 masyarakat diminta menanam kopi dan
diperetengahan tahun tersebar kabar bahwa dari penanaman kopi itu akan di
pungut pajak (belasting).
Akhirnya muncullah perlawanan dari
rakyat, berbagai ketidak senangan ditunjukkan. Khusus di Kamang para pemimpin
mulai menyusun kekuatan untuk melawan kehendak Belanda yang ingin menghisap
darah rakyatnya. Rujukan utama dari masyarakat Kamang Mudiak mengenai
Perang Kamang ialah “Syair Perang Kamang” yang dikarang oleh Haji Ahmad Marzuki
putra dari Haji Abdul Manan. Kekuatan yang dihimpun saat itu dalam artian
kekuatan yang sangat sederhana dan sangat tradisional. Para parewa dan pendekar
dikumpulkan untuk melatih anak-anak muda dengan ilmu beladiri dan menggunakan
senjata seperti tombak dan parang. Di Jorong Durian, Kanagarian Kamang Mudik,
Kecamatan Kamang Magek ada sebuah gua yaitu Gua atau Ngalau Kamang, gua ini
pernah dipergunakan oleh para pejuang Agam sebagai tempat untuk mengatur
strategi dalam Perang Kamang, diantara tokoh yang pernah menggunakannya adalah
Haji Abdul Manan. Kemudian dikalangan umum beredar isyu mistik bahwa kekuatan
yang dihimpun oleh Syekh Haji Abdul Manan memberikan kekuatan mistik pada
pemuda Kamang, dengan cara memberikan azimat-azimat anti peluru. Hal ini
menjadi dasar penting dalam Syair Perang Kamang, karena ikhwal mula
tertangkapnya Haji Ahmad adalah karena Belanda mempercayai bahwa Syekh Haji
Abdul Manan, ayahanda Haji Ahmad menyebarkan azimat anti peluru itu sehingga Syekh
Haji Abdul Manan menjadi buruan utama oleh Belanda. Dalam pencarian itu Haji
Ahmad dijadikan sandera karena Belanda tidak berhasil menemukan ayahnya. Dalam
tawanan itulah Syair Perang Kamang ini diciptakan oleh Haji Ahmad Marzuki. Haji
Abdul Manan diyakini (oleh Belanda dan rakyat Kamang Mudiak) sebagai tokoh
sentral dari gerakan ini karena besarnya pengaruh yang dimilikinya di Kamang
Mudiak. Belanda juga meyakini beliau sebagai pemimpin pemberontakan karena
pandangan umum dari pejabat kolonial bahwa dibalik pemeberontakan oleh
masyarakat pribumi selalu berdiri tokoh agama (seperti bahasan Sartono
Kartodirjo dalam bukunya Pemberontakan Petani Banten). Namun bila kita kaji
keturunan dan silsilah dari H. Abdul Manan maka kita bisa akan melihat bahwa
jiwa dan semangat perang paderi telah di alirkan oleh ayahnya kepada beliau.
Jadi wajarlah beliau pun ikut bersama masyarakat dan memimpin perjuangan
menentang Belanda. (baca biografi singkat H. Abdul Manan)
J. Westernnenk secara berturut-turut
masih berusaha mendatangi rakyat Kamang, bahkan tak terhitung lagi. Tetapi
perundingan-perundingan atau lebih tepat disebut perdebatan mengenai persoalan pajak
masih seperti itu juga, malah lebih menambah kebencian dan memperkukuh semangat
aksi rakyat terhadap Belanda, yang pada masa itu sebenarnya sedang mengalami
goncangan politik, yang rata-rata melanda negara-negara Eropah Barat.
Sementara itu Kari Mudo sebagai
pelopor generasi muda, juga tidak tinggal diam. Secara berturut-turut dalam
waktu berjarak lama, dia mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pemuka
masyarakat Kamang, termasuk Laras Garang Dt. Palindih, Penghulu Kepala Dt. Siri
Marajo, pemimpin perlawanan Dt.Rajo Penghulu, Dt.Mangkudun, St.Pamernan dan
banyak lagi yang lain-lain, bahkan pernah dihadiri oleh J.Wstennenk sendiri.
Dan pada kesempatan lain dia juga berusaha mendatangi Dt. Mudo di Payakumbuh,
Syekh Koto Baru, Pado Kayo di Suayan untuk meminta petuah sekaligus penangkal
untuk persiapan menghadapi perperangan yang diperkirakan tidak lama lagi.
Akhirnya saat itu tiba.
Hari Senin pagi tanggal 15 Juni
1908, sebagai hari perlawanan paling hebat di Sumatera Barat dalam menentang
sistem blasting makin nyata, kedaan di Kamang makin panas. Warga diminta tidak
membayar pajak. Mengetahui duduk masalahnya, Laras Kenagarian Magek Warido
sangat marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia langsung berangkat ke
Bukittinggi untuk melaporkan peristwia itu kepada J.Westennenk meminta supaya
para pembangkang segera ditangkap. Hari itu juga, J.Westennenk menghubungi
Gubernur Sumatera Barat Hecler untuk mohon petunjuk mengenai tindakan yang
harus diambil. Hanya sepatah kata yang dicetuskan Hecler sesuai dengan
penggarisan Gubernur General Van Heutez yaitu, serbu! J.Westennenk lantas
mengumpulkan 160 orang pasukan pilihan yang kemudian dibagi menjadi 3 kelompok.
Menjelang sore mereka segera bergerak dari Bukittinggi menuju Kamang dari tiga
jurusan:
1. Pasukan pertama yang terdiri dari
30 orang, masuk dari Gadut, Pincuran, Kaluang, Simpang Manduang terus menuju
Pauh, dipimpin oleh Letnat Itzig, letnan Heine dan Cheiriek. Diperkirakan
disana mereka mencari Syekh H. Jabang yang merupakan orang penting dalam
perlawanan terhadap pajak.
2. Pasukan kedua, yang terdiri dari 80
orang serdadu dipimpin J.Westennenk (Kontrolir Agam Tua), Kontrolir Dahler
bersama Kapten Lutsz, Letnan Leroux, Letnan Van Heulen, masuk melalui Guguk
Bulek, Pakan kamih, Simpang 4 Suangai Tuak, berbelok di Kampung Jambu, Ladang
Tibarau, Tapi dan terus ke Kampung Tangah. Untuk menyergap H. Abdul Manan.
3. Sedangkan pasukan ketiga yang
berkekuatan 50 orang serdadu di bawah pimpinan Letnan Boldingh dan pembantu
Letnan Schaap, masuk melewati daerah Tanjung Alam, Kapau, Bukik Kuliriak,
Magek, Pintu Koto.
Pada
senja hari, Belanda mulai bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk
menangkapnya karena dinilai beliau lah yang menjadi dalang pergolakan adalah
kaum agama. Tetapi H. Abdul Manan berhasil meloloskan diri dan segera menemui
Dt. Rajo Penghulu di Kamang (sekarang Kamang Hilir) untuk berkonsultasi.
Akhirnya bertiga dengan Kari Mudo dan beberapa orang pemuka lainya, mereka
langsung mengadakan rapat kilat untuk membahas perkembangan yang sangat kritis
dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengobarkan perang sabil. Pasukan
Belanda yang masuk dari Tanjung Alam dan Gadut bertemu di Kamang Mudiak
Sekarang, Sehingga pejuang-pejuang dari Kamang (Kamang Mudiak dan Kamang Hilir)
terkepung di Kampung Tangah.
Menurut
catatan Buchari Nurdin, akhirnya sekitar pukul 02.30 dinihari, tanah Kamang
berubah menjadi front pertempuran hebat, antara pasukan Belanda dengan pasukan
rakyat. Rakyat dipimpin antara lain oleh H Abdul Manan, yang sebelumnya, telah
bersiap-siap menghadang kedatangan pasukan Belanda. Sejumlah tokoh pejuang
lainnya, yang juga telah siap dengan pasukan mereka masing-masing. Seperti Haji
Jabang dari Pauh, Pado Intan, Tuanku Parit, Tuanku Pincuran, Dt Marajo Tapi, Dt
Marajo Kalung, Dt Perpatih Pauh, Sutan Bandaro Kaliru, pendekar wanita dari
Bonjol Siti Maryam, Dt Rajo Penghulu bersama istrinya, Siti Aisiyah,. Begitu
juga pasukan rakyat yang berada di Kamang Ilia. Dengan dipimpin Kari Mudo, Dt
Perpatiah Magek, Dt Majo Indo di Koto Tangah, Dt Simajo Nan Gamuk berusaha bahu
membahu melawan pasukan Belanda. Pertempuran sengit berakhir sudah. Pasukan
Westenenk mundur menuju Pauh sembari membawa tawanan Dt Perpatih. Subuh yang
berembun, bersimbah darah. Darah anak nagari Kamang, belum berhenti menetes,
tatkala fajar menyingsing, tatkala beduk subuh ditabuh, tatkala azan
dikumandangkan subuh itu.
Dalam
kesimpulan salah satu laporan resmi J.Westennenk kepada Gubernur Jendral Ven
Heutsz di Batavia melalui surat kawat tanggal 17 Juni 1908, disusul laporan
pada Gubernur Sumatera Barat Heckler No.1012 tanggal 25 Juni 1908, dia
melukiskan suasana malam itu, seumpama satu malam dimana jurang antara ras
manusia dengan segala kekuasaanya, sudah tidak ada lagi. Yang ada, cuma
kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri manusia-manusia yang
bertatap dengan buas melalui kerlipan bintang-bintang di langit, siap untuk
saling bunuh. Dari arah segerombolan orang-orang yang berdiri di pinggir jalan
raya, sekali-sekali terdengar gemuruh suara Ratib dan Allahu Akbar, yang
semuanya berjumlah tidak kurang dari lima ratus orang. Sedangkan beberapa orang
lagi yang sedang merayap dalam padi, tidak dapat dihitung. Tapi pasti meliputi
ratuan orang pula. J.Westennenk datang mendekati Sersan Booman yang sedang
mengawasi kegelapan. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Sersan Boorman yang
bertugas mengawasi wilayah timur, hampir bersamaan dengan J.Westennenk mencabut
pistol, ketika gelombang serbuan pertama begitu saja sudah muncul di depanya.
Orang-orang itu bagai datang dari balik kegelapan disertai pekik
kalimat-kalimat Tuhan yang mendirikan bulu roma. Di tangan mereka berkilauan
berbagai macam senjata, mulai dari pisau, parang, lembing dan beberapa jenis
senjata lainya. Dalam beberapa jam saja, terjadilah perang basosoh yang
dahsyat, karena serdadu Belanda banyak yang tidak sempat menembakkan
senjatanya. Gemercing senjata, letusan senapan, jerit kesakitan dan rintih
kematian memenuhi udara malam maka dalam sekejap Kampuang Tangah yang tenang
itu berubah menjadi medan bangkai dan telaga darah.
Dalam
laporan resmi J. Westennenk tersebut, juga dijelaskan, telah terjadi lebih dari
delapan kali serangan serupa dalam waktu hampir berturut-turut dan semakin
mengerikan. Ratusan orang penyerbu terus saja maju sekalipun dihujani tembakan.
Kegelapan malam menyebabkan sulit bagi serdadu Belanda membidik sasaran secara
tepat, sehingga sebahagian besar dari mereka yang berhasil tiba di tempat para
serdadu bertahan, langsung membabat lawan bagai kesetanan. Satu demi satu
prajurit Belanda tewas dengan tubuh penuh luka-luka mengerikan. Sersan Boorman
tak henti-hentinya berteriak membangkitkan semangat anak buahnya yang semakin
kendor. Dr.Justesen bertugas merwat dan mengobati beberapa orang serdadu yang
menderita luka-luka. Tetapi dari arah tidak kurang dari 50 meter, lagi-lagi
puluhan penyerbu sudah datang pula. Kelihatan dua orang serdadu mengacungkan
senjata dalam jarak beberapa langkah menyongsong mereka, namun sebelum sempat
melepaskan tembakan kedua serdadu itu terjungkal di tengah kilauan senjata
tajam.
Perwira
kesehatan Dr.Justesen dan sersan Boorman secara bersama-sama berusaha keras
mencegah serdadu yang sudah mulai mundur, ketika menyaksikan seseorang
penyerang membelah kepala seorang sersan. Sementara itu dari arah lain,
beberapa orang penyerbu berhasil memasuki sekelompok tentara. Terdengar
beberapa kali tembakan disusul jatuhnya empat orang di antara mereka. Tetapi
belasan orang yang luput, langsung menghabiskan para serdadu Belanda tanpa
ampun.
Demikian
pada pertempuran yang berlangsung sampai pukul 2.00 dini hari, Pasukan rakyat memperoleh
kemenangan gemilang lantaran semangat dan koordinasi yang tinggi. Tentara
Belanda berhasil dibuat kucar kacir. Tetapi J.Westennek sempat meloloskan diri
dan minta bantuan ke Bukittinggi. Pasukan inilah nantinya yang telah
menimbulkan malapetaka terhadap pasukan rakyat, karena bertepatan fajar
menyingsing mereka datang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga babak kedua
perang basosoh, segera meledak kembali. Akan tetapi lantaran pasukan itu
terlalu banyak dan segar-segar, dilengkapi pula dengan senjata modern, akhirnya
pasukan rakyat terpaksa mengundurkan diri. Dan bersamaan itu, berhentilah
kegaduhan suasana perang bagai disapu dari bumi Kampung Tangah. Yang tinggal
hanyalah keheningan yang ditingkah erangan suara manusia yang luka-luka di tengah
desau angin dedaunan. Nun di ufuk timur, warna keemasan kelihatan menebari
permukaan langit dan burung-burungpun mulai berkicau seperti hari-hari
sebelumnya. Maka tercatatlah pagi itu sebagi sejarah berkabut di hati setiap
bangsa Indonesia di dalam menentang kolonis Belanda. Lebih kurang 100 orang
pejuang syahid di jalan Allah, termasuk H. Abdul Manan. Pasukan dari daerah
Kamang barat (kamang hilir) pun banyak yang syahid di Kampung tangah.
Mengenai
jumlah korban Perang Kamang yang meninggal di kedua belah pihak, ternyata
kemudian banyak terdapat spekulasi angka, baik yang bersal dari statement
Balanda sendiri, atau yang di muat berbagai koran setempat waktu itu seperti de
Padanger, maupun berdasarkan taksiran-taksiran tidak resmi. Tetapi satu hal
yang perlu diketahui adalah bahwa Belanda dalam mengumumkan angka-angka itu
sengaja mengecilkan jumlahnya dengan alasan politik. Waktu itu pihak Belanda membawa
mayat-mayat pasukanya keesokan hari dengan semacam pedati, gerobak sapi yang
biasa digunakan para petani untuk membawa hasil panen.
Angka
korban yang simpangsiur diantaranya dapat dilihat di Koran-koran yang terbit di
Padang menyebut angka 250 orang rakyat Kamang tewas, belanda sendiri menyebut
sekitar 90 orang atau lebih. Mereka yang kemudian ditangkap misalnya pada 19
Juni Lareh Garang Dt Palindih dan kemenakannya Dt Siri Marajo, Penghulu Kepal
Tanhag dan A. Wahud Kari Mudo, ditahan di Bukittinggi. ada 21 Juni, Kari
dipindah ke Padang, disusul mamaknya dan meringkuk di penjara selama 10 bulan.
Bahkan dipindahkan pula ke Batavia. Tahun 1910, Dt Siri wafat di penjara. Tak
lama kemudian Dt Garang dibebaskan. Ia pulang ke Kamang.
Kekompakan
rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan
agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan
ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara
Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan
fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan
kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat
Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa
ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena
nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama
telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai
itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.
Penghargaan dan Penghormatan Untuk Pejuang
Perang Kamang
Perang
Kamang hanyalah sebutan untuk menunjuk ke suatu lokasi saja karena puncak
pemberontakan itu memang ada di Kamang pada tanggal 14-15 Juni 1908. Artinya
Perang Kamang tidak berarti hanyalah pemberontakan rakyat Kamang saja tetapi
pemberontakan rakyat Minangkabau pada umumnya. Hal ini juga didukung oleh
tercatatnya beberapa nama pejuang yang berasal dari luar Nagari Kamang. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa pemberontakan itu juga dimungkinkan oleh jaringan para
Wali Nagari yang waktu itu membicarakan pungutan pajak oleh Belanda itu.
Sebagaimana layaknya sebuah pembicaraan banyak diantara Wali Nagari yang
sepakat bahwa Belanda harus dilawan, walaupun ada yang bersikap lunak terhadap
kebijakan pemerintah Belanda. Salah satu pemimpin yang keras dalam menentang
Belanda itu adalah pemimpin dari Nagari Kamang. Bersama dengan tokoh-tokoh di
Kamang (yang sangat terkenal adalah Syekh Haji Abdul Manan) pemimpin-pemimpin
di nagari ini menyusun kekuatan rakyat untuk menentang Belanda.
Kekuatan
yang dihimpun saat itu dalam artian kekuatan yang sangat sederhana dan sangat
tradisional. Para parewa dan pendekar dikumpulkan untuk melatih anak-anak muda
dengan ilmu beladiri dan menggunakan senjata seperti tombak dan parang.
Kemudian dikalangan umum beredar isyu mistik bahwa kekuatan yang dihimpun oleh
Syekh Haji Abdul Manan memberikan kekuatan mistik pada pemuda Kamang, dengan
cara memberikan azimat-azimat anti peluru. Hal ini menjadi dasar penting dalam
Syair Perang Kamang, karena ikhwal mula tertangkapnya Haji Ahmad adalah Belanda
mempercayai bahwa Syekh Haji Abdul Manan, ayahanda Haji Ahmad menyebarkan
azimat anti peluru itu sehingga Syekh Haji Abdul Manan menjadi buruan utama
oleh Belanda. Dalam pencarian itu Haji Ahmad dijadikan sandera karena Belanda
tidak berhasil menemukan ayahnya. Dalam tawanan itulah Syair Perang Kamang ini
diciptakan oleh Haji Ahmad Marzuki.
Sebagai wujud penghargaan dan penghormatan
bagi pejuang perang Kamang, dan agar kita generasi muda tidak lupa dengan
peritiwa bersejarah itu maka pemerintah melalui kunjungan Menko Keamanan
dan Pertahanan Jendral A.H.Nasution meresmikan Makam yang terletak di dusun
Kampung Budi Jorong Pakan Sinayan, Nagari Kamang Mudik. diresmikan
penggunaannya sebagai Komplek makam
pahlawan ini diberi nama "Komplek Makam Pahlawan Perang Kamang Haji Abdul
manan" pada tanggal 15 Juni 1962. Didalamnya terdapat 21 pahlawan yang
meninggal pada perang Kamang tahun 1908 M. Para pahlawan yang dimakamkan di
kompleks ini diantaranya : H. Abdul Manan, Kari bagindo, Haji Musa (Kakak
H.Abdul Manan), Kadir St. Bagindo, ML. Sinaro, LB. Mudo/LB
Kampua,
Dt.
Batudung, Udin/Idi, Suid Tk Parit panjang, Datuk N. Tingap, Sanan
PK. Basa,
Dt.
Nan Hijau,
MI.
Saulah,
M.
Pandeka Mudo, Datuk Pandeka Ade, Deman, Usman, St. Mantari, M. Intan Mudo, Lb. Sutan, Kadir Bagindo.
Setelah peresmian
makam pahlawan itu A.H.Nasution juga meminta agar perantau Kamang membangun
tugu peringatan di tempat kejadian perang kamang yaitu di Kampung Tangah. Tugu
dan makam pahlawan ini masih bisa kita saksikan dan ziarahi sampai sekarang.
Kesimpulan
Dari penjelasan
diatas dapat di simpulkan bahwa :
1.
Persatuan Alim
Ulama, Niniak Mamak, dan Cadiak Pandai di sebuah nagari akan membuat kekuatan
perjuangan dan pembangunan nagari akan maksimal.
2.
Perjuangan
menentang penjajahan dan kezaliman adalah sebuah keharusan, jadi kita sebagai
gerenasi muda harus memperlihatkan usaha dan tindakan untuk menentang kezaliman
dan penjajahan itu.
3.
Setiap tindakan
dan usaha harus didasari oleh niat karena Allah, karena itu akan menjadikan
usaha kita tersebut sebagai sebagai amal ibadah.
4.
Jangan melupakan
kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk melaksanakan Ibadah dan amal baik.
Karena itu lah menjadi dasar atau pondasi kita untuk menghadapi tantangan masa
depan.
5.
Untuk melakukan
sesuatu harus didasari dengan ilmu, jadi tuntut lah ilmu demi hasil yang
maksimal.
Daftar Bacaan
1. Tim Penyusun Sejarah Perang Kamang 1908, “Bunga Rampai Perang Kamang 1908”, Kamang Mudiak, 2008.
2. www.aldiparis.com “perang-kamang-1908” 2008
3. www.alkamangie.wordpress.com “perang-kamang-1908”
4. Dt Tan Tuah, www.padangekspres.co.id “Menyegarkan Ingatan Tentang Kamang”
5. Azwar “Jejak Luka: Kamang 1908 (Seabad Perang Kamang), 2008.
6. Suryadi (Dosen & peneliti di Leiden Univeristy, Belanda), “Yang Tercatat dan Yang Terlupakan tentang Nagari “, Artikel diterbitkan dalam Tabloid Nagari, edisi II, Tahun I, 24 Agustus - 06 September 2010, hlm. 3.
1. Tim Penyusun Sejarah Perang Kamang 1908, “Bunga Rampai Perang Kamang 1908”, Kamang Mudiak, 2008.
2. www.aldiparis.com “perang-kamang-1908” 2008
3. www.alkamangie.wordpress.com “perang-kamang-1908”
4. Dt Tan Tuah, www.padangekspres.co.id “Menyegarkan Ingatan Tentang Kamang”
5. Azwar “Jejak Luka: Kamang 1908 (Seabad Perang Kamang), 2008.
6. Suryadi (Dosen & peneliti di Leiden Univeristy, Belanda), “Yang Tercatat dan Yang Terlupakan tentang Nagari “, Artikel diterbitkan dalam Tabloid Nagari, edisi II, Tahun I, 24 Agustus - 06 September 2010, hlm. 3.
7. http://agamkab.go.id , “Komplek
Makam Pahlawan Perang Kamang H. Abdul Manan”.
8. http://wisataohhwisata.blogspot.com “Perang Belasting 1908”
0 komentar:
Posting Komentar